KTI-SKRIPSI: 32. Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana

32. Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan,
karena kebudayaan berhubungan dengan budi atau akal. Kebudayaan adalah keseluruhan
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, keilmuan, sosial, hukum, adat-
istiadat dan kemampuan-kemampuan lain untuk keperluan masyarakat. (Prasetyo. 2004.
hlm. 147).
Indonesia termasuk Negara yang berpaham budaya dan berideologi patriarki yang masih kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Ada tiga sistem budaya di Indonesia yakni patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Budaya patriarki adalah keadaan hukum adat yang memakai nama bapak dan hubungan keturunan melalui garis kerabat pria/bapak (Sastryani. 2001. hlm.33).
Dalam masyarakat yang bertumpu pada budaya dan ideologi patriarki dengan basis dan nilai dari perempuan, kedudukan perempuan berada pada subordinat marginalis dan bahkan tidak diperhitungkan dalam konteks relasi gender. Patriarki itu sendiri didominasi dari laki-laki dari pada perempuan dan peran perempuan terkotak, dan laki-laki bermonopoli akan seluruh peran (Manurung. 2001 hlm. 131).

Perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam
budaya dan ideologis patriarki, telah meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek dan struktur kehidupan manusia yang mengakibatkan adanya berbagai ketimpangan termasuk diantaranya ketimpangan gender (Syukrie, 2003,¶3, http://www.Glosarium-.Syukrie.com, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 ).
Ketimpangan hubungan dalam keluarga tampak melalui pengaturan kehamilan.
Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang
mengijinkan isterinya menjadi akseptor (Syukrie, 2003,¶14, http://www.Glosarium-.Syukrie.com, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 ).
Masalah kesehatan reproduksi menjadi perhatian bersama karena erat
hubungannya dalam Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA). Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi di negara ASEAN (Manuaba. 1999. hlm. 2).
Masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan Keluarga Berencana
dan kesehatan reproduksi dan adanya anggapan bahwa Keluarga Berencana adalah
urusan perempuan. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi perempuan menjadi
akseptor adalah jumlah anak yang sudah cukup faktor usia, faktor ketakutan istri bila suami menjadi akseptor akan selingkuh, dan keluarga tidak harmonis (¶4,
http://www.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 06 februari 2008).
Kesenjangan tersebut juga dapat diukur dari kesamaan hak dalam pengambilan keputusan dan dalam program Keluarga Berencana, perempuan sering sekali terabaikan haknya dalam pengambilan keputusan. Padahal itu merupakan hak yang paling hakiki, termasuk dalam keputusan menjadi akseptor (Darwin. 2001. hlm. 88).
Pada program Keluarga Berencana, masalah yang paling menonjol yang
berhubungan dengan kebudayaan patriarki salah satunya hak-hak perempuan yang belum
mendapatkan akses dan peluang yang layak. Ini terbukti dari 95% peserta Keluarga
Berencana adalah perempuan. Dan kesertaanan pria sangatlah rendah (1,1%), jika
dibandingkan dengan negara-negara lain Malaysia (1,6%), Iran (13%), Bangladesh
(14%), USA (35%) bahkan Jepang (80%) pada tahun 2003. Dikarenakan hal tersebut, diupayakan peningkatan kesertaan pria dalam menjadi akseptor Keluarga Berencana yang sesuai dengan perubahan visi dan misi program Keluarga Berencana yakni berupaya mewujudkan keluarga yang berkualitas tahun 2015 melalui promosi, perlindungan dan bantuan untuk mewujudkan hak-hak reproduksi, memaksimalkan akses dalam kualitas pelayanan Keluarga Berencana dengan sorotan peningkatan partisipasi pria (¶2, http://www. bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 14 Februari 2008).
Dari hasil penelitian Sriudayani tahun 2003 yang dilakukan pada tiga provinsi
yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu ditemui bahwa masih terbatasnya
pada pengambilan keputusan di dalam keluarga atau urusan domestik keluarga,
sedangkan suami masih sebagai pengambilan keputusan yang dominan serta mempunyai
anggapan suamilah yang harus dihormati yang sudah berlaku umum dalam masyarakat
(¶4, http://www. bkkbn - hasil penelitian.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009).
Dan ini berbeda sekali dengan pelayanan KB bermutu seperti yang
direncanakan. Dimana pelayanan KB bermutu ialah pelayanan KB yang memungkinkan
klien secara sadar dan bebas memilih cara pengendalian kelahiran yang diinginkan, aman, serta memuaskan kebutuhan pria dan wanita. (¶14 http://www.prov.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 16 Oktober 2009).
Perempuan tidak mempunyai kekuatan dalam penentuan metoda kontrasepsi
yang diinginkan yang dikarenakan ketergantungan kepada keputusan suami, selain itu
keputusan laki-laki dalam program keluarga berencana sangat kecil, namun kontrol perempuan dalam hal memutuskan untuk berk-KB sangat dominan (Pinem. 2009. hlm.
45).
Ketimpangan yang ditimbulkan tersebut dapat mempengaruhi masalah kesehatan
reproduksi. Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global
sejak diangkatnya issue mengenai hal tersebut ke dalam Konferensi Internasional tentang kependudukan dan pembangunan (Internasional Conference On Population and Development, ICPD) di Kairo 1994. Hal ini penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan
pembangunan, dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi
pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak - hak
reproduksi (¶9, http://www.prov.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009).
Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Lingkungan VI Kelurahan Simpang
Selayang Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2009 mayoritas penduduknya berpaham
patriarki yakni bersuku Batak Karo, dan Jawa serta tidak ditemukannya pria sebagai
akseptor keluarga berencana, setelah dilakukan wawancara terhadap sepuluh WUS
tentang indikator pengambilan keputusan dalam mengikuti program KB hasil survey
menunjukkan bahwa terdapat 70% responden mengatakan bahwa suami menentukan dan
memutuskan istri menjadi peserta KB atau tidak, sedangkan 30% responden mengatakan
bahwa menjadi peserta KB atas keputusan dan inisiatif sendiri sebagai istri. Kondisi ini menggambarkan bahwa paham budaya patriarki masih dan sangatlah kental. Terhadap
variabel keluarga berencana seluruh responden mengetahui bahwa kontrasepsi
merupakan cara pencegahan kehamilan yang belum dikehendaki, dan 50% yang
mengetahui jelas jenis kontrasepsi responden mengetahui jenis alat kontrasepsi, mengenai bahwa pria dapat juga berperan sebagai akseptor terdapat 60% yang mengetahuinya, dan 70% diantaranya tidak menginginkan jika suaminya dijadikan sebagai akseptor keluarga berencana.
Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “hubungan budaya patriarki terhadap keputusan wus menjadi akseptor
keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: “apakah ada hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga
berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasikan karakteristik WUS sebagai akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.
b. Mengidentifikasi unsur budaya patriarki WUS sebagai akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.
c. Mengidentifikasi keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.
d. Mengidentifikasi hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pengembangan diri dalam peningkatan pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan.
2. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai penambahan serta peningkatan informasi pengetahuan WUS tentang budaya patriarki dan Keluarga Berencana, serta hak reproduksi terhadap pengambilan keputusan menjadi akseptor keluarga berencana.
3. Bagi Insitusi Pendidikan
Sebagai bahan informasi dan tambahaan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang berminat untuk melakukan penelitian lanjutan tentang hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana.

Link download KTI lengkap ini
32. Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana
BAB I
BAB II
BAB III-VI

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...