KTI-SKRIPSI: 2011

04.PERBEDAAN KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM PADA IBU NIFAS YANG DIBERI NSAIDs (ASAM MEFENAMAT) DENGAN YANG TIDAK DIBERI NSAIDs (ASAM MEFENAMAT)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Trauma perineum merupakan hal yang wajar terjadi dalam proses persalinan normal. Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka, perineum mulai teregang sedikit demi sedikit sampai seluruh badan bayi lahir. Tubuh janin yang terlalu besar dan cara meneran yang salah menyebabkan perineum teregang sangat kuat sehingga menyebabkan jaringan perineum mengalami robekan. Proses kelahiran yang berlangsung sangat cepat mengakibatkan perineum meregang terlalu cepat sehingga robekan tidak dapat terhindarkan. Selain itu, tindakan episiotomi yang biasanya dilakukan pada primigravida atau wanita dengan perineum yang kaku juga bisa menyebabkan perineum mengalami trauma.

Proses penyembuhan merupakan reaksi dari jaringan untuk memulihkan diri dan segera melakukan fungsinya kembali. Potter (2006) menjelaskan bahwa sifat penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasi bergantung pada lokasi, keparahan dan luasnya cedera. Sedangkan untuk mencapai tahap kesembuhan ada beberapa fase yang harus dilewati yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan maturasi. Kesemua tahap tersebut harus dilewati dengan sempurna, dengan rentang waktu yang relatif berbeda tegantung dari berbagai hal.
Kecepatan penyembuhan luka dapat dihambat oleh oleh faktor-faktor antara lain usia, malnutrisi, obesitas, gangguan oksigenasi, merokok, obat-obatan, diabetes, radiasi dan stress luka. Obat anti inflamasi seperti NSAIDs dapat memperlambat penyembuhan luka. (Potter, 2006) Masuknya mikroba patogen pada di daerah luka dapat menimbulkan infeksi juga bisa menghambat proses penyembuhan. Oleh karenanya, pemberian antibiotik selalu dilakukan sebagai profilaksis terhadap infeksi.
Ketika jaringan mengalami cedera, nyeri merupakan reaksi fisiologis yang mendorong seseorang untuk mengkonsumsi obat anti nyeri. NSAIDs umumya menghilangkan nyeri ringan dan sedang. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor syaraf nyeri perifer untuk mengurangi transmisi dan respon stimulus nyeri. (Potter, 2006) Asam mefenamat (mefenamic acid) merupakan NSAIDs derivat anthranilat (=o-aminobenzoat) ini (1956) memiliki daya antiradang sedang, kira-kira 50% dari khasiat fenilbutazon. Plasma t1/2-nya 2-4 jam. (Tsay & Rahardja, 2005).
Gangguan yang sering muncul seperti mual, muntah,nyeri lambung, gastritis serta hiperkalemia merupakan efek samping dari sebagian besar NSAIDs yang mempunyai mekanisme kerja menghambat COX-2 (peradangan) tapi tidak menghambat COX-1 (perlindungan mukosa lambung). Masa perdarahan dapat diperpanjang yang disebabkan oleh kerja NSAIDs yang menghambat fungsi trombosit (Tsay & Rahardja, 2005). Masuknya NSAIDs ke dalam ASI mengharuskan penggunaannya harus hati-hati pada masa laktasi. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada laporan tentang efek teratogeniknya pada bayi.
Achmadi, dkk (2004) menyimpulkan bahwa pada 10 rumah sakit besar di Jawa menggunakan asam mefenamat untuk ibu post partum dengan luka jahitan dikerampangnya meskipun ditengarai NSAIDs akan memperlambat proliferasi jaringan (Dinkes, 2004). Di BPS wilayah Kabupaten Malang, ada yang menggunakan asam mefenamat sebagai terapi untuk ibu post partum selain antibiotik.Ada juga yang tidak menggunakan asam mefenamat, tapi tetap mengunakan antibiotik sebagai profilaksis infeksi.
Dari uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Perineum pada Ibu Nifas yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat) dengan yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat) di BPS Wilayah Kabupaten Malang.

1.2 Rumusan Masalah
Adakah efek NSAIDs (Asam Mefenamat) terhadap kecepatan penyembuha luka perineum pada ibu nifas?
Mengapa luka perineum yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat) lebih lama sembuh daripada yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)?

1.3 Hipotesis Penelitian
Luka perineum pada ibu nifas yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)lebih lama sembuh daripada yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)


1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan kecepatan penyembuhan luka perineum
pada ibu nifas yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat) dengan yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)
1.4.2 Tujuan khusus
1.4.2.1 Mengidentifikasi kecepatan penyembuhan luka perineum yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)
1.4.2.2 Mengidentifikasi kecepatan penyembuhan luka perineum yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)
1.4.2.3 Menganalisis perbedaan kecepatan penyembuhan luka perineum pada ibu nifas yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat) dengan yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi peneliti
Dari hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan di dalam mempelajari perbedaan kecepatan penyembuhan luka perineum pada ibu nifas yang diberi NSAIDs (Asam Mefenamat ) dengan yang tidak diberi NSAIDs (Asam Mefenamat)
1.5.2 Bagi profesi
Memberikan masukan pada profesi dalam hal pemberian terapi penyembuhan luka perineum.
1.5.3 Bagi masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat tentang kegunaan atau manfaat obat anti nyeri.

Link download KTI lengkap ini
04.PERBEDAAN KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM PADA IBU NIFAS YANG DIBERI NSAIDs (ASAM MEFENAMAT) DENGAN YANG TIDAK DIBERI NSAIDs (ASAM MEFENAMAT)
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV-V

Baca Selengkapnya...

03.perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perkembangan anak merupakan hasil maturasi organ-organ tubuh terutama susunan saraf pusat. Dalam perkembangan terdapat tahapan yang harus dilalui anak untuk menuju usia dewasa. Tahapan yang terpenting adalah pada masa 3 tahun pertama, karena pada masa ini tumbuh kembang berlangsung dengan pesat dan menentukan masa depan anak kelak. (IDAI, 2002).
Setiap anak perlu mendapat stimulasi perkembangan sedini mungkin dan terus-menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi tersebut merupakan kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang menetap (Depkes RI, 2005). Hal tersebut menuntut peran ibu sebagai penentu pola asuh anak untuk merawat dan melindungi anak guna mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Namun seiring perkembangan jaman, saat ini semakin banyak orang tua baik ayah maupun ibu yang sama-sama bekerja sehingga interaksi mereka dengan anak menjadi berkurang.
Semakin banyak ibu yang bekerja merupakan realitas yang nyata. Kecenderungan ini akan menimbulkan dampak sosial serius bagi anak jika orang tua tidak memberikan penjelasan yang tepat alasan mereka bekerja. Anak perlu diajari dan kemudian diawasi. Seringkali saat ditinggalkan orangtua bekerja, anak terjerumus dalam masalah. Anak-anak yang bermasalah sering berasal dari keluarga yang kurang atau tidak mengawasi karena anak belum mengerti dan belum bisa membedakan mana perilaku baik dan mana yang buruk (Putra, 2007).

Pada dasarnya tidak ada masalah jika orang tua, khususnya ibu bekerja, selama hak-hak anak untuk mendapatkan pengasuhan, kasih sayang dan stimulasi perkembangan dapat terpenuhi secara optimal. Namun jika kasih sayang dan perkembangan anak menjadi terganggu akibat interaksi ibu dengan anak sangat terbatas, maka perlu pemikiran lebih mendalam sebelum memutuskan untuk bekerja. Jika perhatian, kasih sayang serta stimulasi perkembangan terhadap anak tetap dapat diberikan meskipun ibu bekerja, maka sebenarnya apa yang dilakukan seorang ibu adalah perbuatan yang sangat mulia, karena ibu telah berperan aktif dalam membantu perekonomian keluarga disamping tugas utamanya sebagai seorang ibu. Seorang ibu yang tidak bekerjapun belum tentu dapat memberikan kasih sayang dan melakukan stimulasi perkembangan pada anak dengan baik.
Interaksi ibu dengan anak juga sangat ditentukan oleh seberapa berkualitasnya kebersamaan yang terjalin diantara mereka. Ibu yang bekerja meski dengan keterbatasan waktu yang dimilikinya, namun bila ia mampu memanfaatkan dengan maksimal waktu yang dihabiskan bersama anak-anaknya hasilnya jauh akan lebih optimal dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja namun kurang pandai dalam mengelola waktu bersama anak-anaknya. Oleh karena itu setiap ibu baik ia seorang yang bekerja atau tidak bekerja, kemampuan menghabiskan waktu yang berkualitas bersama anak-anaknya menjadi salah satu kemampuan yang wajib dimiliki dan terus dikembangkan (Priastuti, 2008)..
Berdasarkan data studi pendahuluan yang kami lakukan melalui pengamatan terhadap 14 anak usia 1-3 tahun di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang pada Februari 2009, diketahui terdapat 7 anak yang tidak diasuh oleh ibu kandungnya karena bekerja. Dari 7 anak tersebut setelah diamati tingkat perkembangannya, ada 2 anak (28,6%) belum bisa minum dari cangkir yang seharusnya sudah mulai bisa dilakukan sejak usia 9 bulan. Dari hasil wawancara dengan pengasuhnya diketahui bahwa di rumah anak juga belum bisa minum dari cangkir karena setiap kali minum selalu menggunakan botol atau menyusu ibu. Pengamatan yang sama juga dilakukan terhadap 7 anak usia 1-3 tahun yang diasuh oleh ibunya sendiri (tidak bekerja) dan diketahui bahwa 1 anak (14,3 %) juga belum bisa minum dari cangkir. Ibunya mengatakan bahwa anak memang belum dibiasakan minum dari cangkir karena sering tersedak.
Kondisi ini belum menggambarkan data sesungguhnya dari keseluruhan populasi, mengingat berdasarkan data dari Bidan Desa Pakisjajar, di Posyandu tersebut pada saat ini terdapat 54 anak usia 1-3 tahun, dan 18 diantaranya (33,3%) diasuh oleh ibu yang bekerja.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengamati lebih lanjut tentang perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja.


1.2 Rumusan Masalah
Adakah perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) yang diasuh oleh ibu bekerja di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang.
b. Mengidentifikasi perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) yang diasuh oleh ibu tidak bekerja di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang.
c. Menganalisis perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja di Posyandu Janur Kuning II Desa Pakisjajar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua fihak yang terkait. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1.4.1 Bagi peneliti
Sebagai pengetahuan tambahan ketika terjun di masyarakat untuk memberikan informasi dan edukasi tentang perkembangan pada anak usia toddler (1-3 tahun).
1.4.2 Bagi Institusi
Sebagai bahan kajian untuk menindaklanjuti pentingnya perkembangan anak pada usia toddler (1-3 tahun).
1.4.3 Bagi organisasi profesi
Dapat di gunakan sebagai masukan bagi profesi bidan untuk dapat meningkatkan pemberian penyuluhan tentang pentingnya perkembangan anak usia 1 – 3 tahun dan meningkatkan pelaksanaan penilaian perkembangan sehingga perkembangan anak usia 1 – 3 tahun dapat berkembang secara normal dan optimal.
1.4.4 Bagi Masyarakat
Dapat menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat tentang perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) sehingga anak dapat berkembang secara optimal.

Link download KTI lengkap ini
03.perbedaan perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) antara ibu bekerja dan tidak bekerja
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

02.perbedaan pemberian teknik distraksi dan relaksasi terhadap tingkat nyeri post operasi pada pasien post operasi sc (seksio sesarea) hari ke 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka operasi, inflamasi. Nyeri juga dapat dikatakan sebagai perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dimana ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk pertama kali. Penanganan nyeri dilakukan secara farmakologis dan nonfarmakologis dengan tujuan untuk mengobati nyeri tersebut dengan cara menghilangkan gejala yang muncul. Penanganan farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan seperti analgetik, steroid, NSAID, opioid obat-obatan anastesi, sedangkan nonfarmakologis yaitu stimulus dan massage kutaneus, terapi es dan panas, distraksi, relaksasi, imajinasi terpimpin dan hipnotis (Brunner dan Suddarth, 1999).

Dimana teknik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain dengan kata lain distraksi bisamemfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selalin nyeri. Didalam pemberian teknik distraksi ada berbagai macam cara antara lain distraksi visual, distraksi intelektual, distraksi dengan imajinasi terbimbing serta distraksi pendengaran. Salah satu distraksi yan efektif adalah dengan mendengarkan musik yang dapat menurunkan nyeri atau mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri, sedangkan kelebihan penggunaan teknik distraksi yaitu distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat untuk mengatasi nyeri selama pelaksanaan prosedur invasif. Menurut Drive dkk (1990) mengemukakan bahwa nyeri dapat berkurang dengan mengalihkan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri dalam arti distraksi.
Pada teknik relaksasi merupakan strategi kognitif yang memberikan kesembuhan secara fisik dan mental atau mengurangi sampai ambang nyeri (Nurschl, 1993). Teknik relaksasi yang ada yaitu menganjurkan pasien bernafas secara teratur, dalam kelebihan teknik ini yaitu ketika pasien mencapai relaksasi penuh maka persepsi nyeri berkurang atau pengalaman nyeri menjadi minimal. Miller & Perry (1990) menyatakan bahwa relaksasi efektif dalam mengurangi ataupun menurunkan nyeri pasca operasi sehingga teknik menjadi strategi yang sangat baik dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif lainnya.
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan dinding uterus melalui dinding depan uterus atau vagina atau seksio sesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar Rustam, 1998). Luka sayatan operasi sesar dengan menggunakan teknik klasik yaitu sayatannya membujur dari bawah pusar ke arah tulang kemaluan. Sedangkan sekarang secara estetis teknik pembedahan yang baru luka sayatannya melintang dari kiri ke kanan di atas tulang kemaluan (trans profunda) yang hasilnya bekas operasi tidak terlihat (www.conectique.com, 2007).
Luka adalah adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang. Luka yang sering ditemukan pada obstetric adalah luka bersih tanpa kontaminasi, misal luka insisi yang tertutup, luka yang melibatkan saluran kemih, misal seksio sesarea di segmen bawah (lower segment Caesarrean section (LSCS) (Johnson, Ruth, 2004).
Untuk mengurangi rangsangan nyeri pasien dianjurkan untuk melakukan distraksi atau relaksasi, dikarenakan beberapa pasien tidak mengerti apa yang disebut dengan teknik distraksi ataupun teknik relaksasi.
Dari studi pendahuluan yang dilakukan di RB Siti Aisyah Probolinggo pada bulan Desember 2008 sampai dengan januari 2009 sebanyak 35 pasien SC, 85% menyatakan nyeri berat dan sisa lainnya menyatakan nyeri sedang dan ringan.
Berdasarkan data-data tersebut diatas, peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan antara teknik distraksi dan relaksasi dalam mengurangi tingkat nyeri post operasi SC.

1.2 Rumusan Masalah
”Adakah perbedaan pemberian teknik distraksi dan relaksasi terhadap tingkat nyeri post operasi pada pasien post operasi sc (seksio sesarea) hari ke 3”?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan tingkat nyeri post operasi SC hari ke-3 antara pasien yang diberi teknik distraksi dan teknik relaksasi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi SC hari ke-3 setelah dilakukan teknik distraksi.
2. Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi SC hari ke-3 setelah dilakukan teknik relaksasi.
3. Mengidentifikasi perbedaan tingkat nyeri post operasi SC hari ke-3 antara pasien yang diberi teknik distraksi dan relaksasi.

1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat pada :
1.4.1 Bagi Responden
Paien mampu mengetahui cara lain untuk mengurangi nyeri selain menggunakan pengobatan farmakologi yaitu teknik distraksi dan teknik relaksasi.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan sehingga dapat menjadi wacana dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang penurunan tingkat nyeri menggunakan teknik distraksi dan menggunakan teknik relaksasi.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini dapat diaplikasikan di rumah sakit untuk menentukan teknik pendekatan non farmakologis yang sesuai dalam mengurangi nyeri pada pasien selama perawatan luka operasi.
1.4.4 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dalam memberikan asuhan keperawatan luka post operasi SC khususnya dalam pemberian teknik distraksi dan teknik relaksasi.
1.4.5 Bagi Peneliti Lanjut
Dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya tentang penurunan tingkat nyeri.

Link download KTI lengkap ini
02.perbedaan pemberian teknik distraksi dan relaksasi terhadap tingkat nyeri post operasi pada pasien post operasi sc (seksio sesarea) hari ke 3
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

01.perbedaan terjadinya efek samping antara pengguna alat kontrasepsi suntik dan pil

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera ( NKKBS ) yang berorientasi pada “catur warga” atau zero population growth ( pertumbuhan seimbang ).Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah berumur panjang ( sejak 1970 ) dan masyarakat dunia menganggap Indonesia berhasil menurunkan angka kelahiran dengan bermakna.Masyarakat dapat menerima hampir semua metode medis teknis Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah.

( Manuaba, 1998: 438)
Sejak Pelita V program KB Nasional berubah menjadi Gerakan KB Nasional.Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia.Hasil sensus 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan Keluarga Kecil,dalam rangka pelembagaan dan Pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera ( NKKBS).Langkah besar yang perlu dibangun selanjutnya adalah Pembangunan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.Tujuan Gerakan KB Nasional adalah mewujudkan Keluarga Kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia.
Sasaran Gerakan KB Nasional adalah:( 1) Pasangan Usia Subur,dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah.(2) Generasi muda dan Purna PUS.(3) Pelaksana dan pengelola KB.(4) Sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri,pemukiman padat,daerah kumuh,daerah pantai,dan daerah terpencil.
(Wiknjosastro, 2002: 902)
Pencapaian target peserta KB baru dari tahun 1993/1994/ s/d 1997/1998 menunjukkan kecenderungan meningkat, yaitu dari 85,8% menjadi lebih dari 100%.Pola penggunaan alat kontrasepsi akseptor baru pada tahun 1997/1998 yaitu IUD 13,4%, pil 32,3%, kondom 1,2%, operasi 0,0%, suntik 42,4%, Implant 10,1%, obat vaginal 1,0%.( Anonim, 1998 )
Efek samping yang mempengaruhi ibu yang memakai Depo-Provera yaitu perubahan menstruasi untuk beberapa bulan terjadi perdarahan dan bercak yang ireguler dan tidak dapat diduga sampai terjadi amenore pada sebagian besar wanita dan dijumpai pula keluhan mual, pusing, berat badan meningkat.
(Varney, 2001: 35 )
Efek samping yang ditimbulkan oleh alat kontrasepsi pil adalah muntah, pusing, mual, nyeri payudara, berat badan yang bertambah, spotting, amenorea, keputihan, akne. Dari kejadian sehari-hari, efek samping merupakan faktor utama dari penghentian pemakaian pil oral, baik dalam bulan pertama maupun sesudahnya.( Hartanto, 2004: 127 )
Pada bulan oktober 2002 di Jawa Timur kejadian efek samping pemakai alat kontrasepsi 5.595 orang yaitu MOP 14 orang,MOW 88 orang,Implat 768 orang,suntik 3.030 orang,pil 483 orang,kondom 1 orang,Iud 1.211 orang.
(Kasmiyati, 2002 )
Dari hasil Se-kodya Malang pada tahun 2006 jumlah Pasangan Usia Subur sebanyak 451.851 dan yang telah menjadi akseptor KB aktif 96.531 ( 21,36% ),jumlah Pasangan Usia Subur KB baru sebesar 45.411 orang (10,05%) , Peserta KB suntik 51%,pil 28%,implant 11%,MOP/MOW 8%,IUD 2%,kondom 0% .Dari data di Kecamatan Karangploso persentase pemakai KB aktif IUD 24,32%,MOP/MOW 1,63%,Implant 2,03%,suntik 44,08%,pil 26,26%,kondom 0,1%.dan persentase KB baru IUD 6,32%,MOP/MOW 0,54%,implant 5,47%,suntik 85,53%,pil 2,04%,kondom 0,11%.
( Bidang Pelayanan dan PPSM Dinkes Malang ).
Dari data di Dusun Krajan Desa Ngenep jumlah Ibu Usia Subur peserta KB pemerintah 107 orang dan swasta 241 orang dengan pemakai alat kontarsepsi MOW 10 orang, MOP 2 orang, IUD 24 orang, Implant 48 orang, pil 106 orang, suntik 158 orang. Ibu Usia Subur yang pernah melaporkan mengalami efek samping yaitu pada KB suntik 39 orang dan pil 10 orang.
Dari data yang telah diuraikan diatas peneliti ingin meneliti” Perbedaan terjadinya efek samping antara alat kontrasepsi suntik dan pil di Dusun Krajan Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang”


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah“ Bagaimanakah perbedaan terjadinya efek samping antara pengguna alat kontrasepsi suntik dan pil di Dusun Krajan Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang” ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengidentifikasi perbedaan terjadinya efek samping antara pengguna alat kontrasepsi suntik dan pil
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi terjadinya efek samping pada pengguna alat kontrasepsi suntik
1.3.2.2. Mengidentifikasi terjadinya efek samping pada pengguna alat kontrasepsi pil
1.3.2.3. Menganalisa perbedaan terjadinya efek samping antara pengguna alat kontrasepsi suntik dan pil
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi tenaga kesehatan
Sebagai masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan di bidang kesehatan khususnya bidang KB suntik dan pil
1.4.2 Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan dalam memilih kontrasepsi yang sesuai dan dapat mengetahui efek samping serta keuntungan KB suntik dan pil.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai dokumentasi dan bahan bacaan serta memberi masukan tentang hal-hal yang melatarbelakangi efek samping pada KB suntik dan pil.
1.4.4 Bagi profesi
Menjadi bahan masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bidang pelayanan KB.
1.4.5 Bagi peneliti
Sebagai pengalaman yang sangat berarti dalam melakukan penelitian tentang efek samping KB suntik dan pil.

Link download KTI lengkap ini
01.perbedaan terjadinya efek samping antara pengguna alat kontrasepsi suntik dan pil
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

12.pengaruh Kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (Soetjiningsih, 2004 : 191). Banyaknya perokok dan produksi rokok yang semakin tinggi menyebabkan semakin luasnya kawasan bebas merokok di masyarakat. Para perokok kurang mengerti bahwa rokok tersebut bisa menimbulkan penyakit karena bahan rokok mengandung ribuan racun yang membahayakan kesehatan. (Dody Hidayat, 2004 : 22).

Jumlah perokok di Indonesia mengalami peningkatan dan cukup memprihatinkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2001 menyebutkan bahwa tingkat perokok di Indonesia sebayak 31,4 % dan jumlah perokok laki-laki mencapai 59% dan jumlah perokok perempuan mencapai 3,7 % (Dody Hidayat, 2004 : 23). Dr W.L Mendenhall dari Haryard University mengemukakan bahwa rokok menyebabkan iritasi serius pada selaput lendir mulut dan hampir 65 % perokok ditemukan adanya luka di dalam mulut serta diskolorasi pada gigi jika kebiasaan tidak dihentikan (Ernest Caldwell, 2001 : 35-36).
Sebatang rokok mempunyai kandungan nikotin sekitar 20,9 mg bahkan di dalam rokok yang tidak mengandung nikotin pun pada mereknya terdapat sekitar 10,4 mg nikotin. Menurut percobaan yang dilakukan oleh para ahli menemukan bahwa 50 mg nikotin yang disuntikkan langsung ke dalam aliran darah dapat menimbulkan kematian. Untungnya tidak seluruh nikotin dapat diserap tubuh. Hanya sekitar 2 mg yang ikut masuk dari seluruh kandungan nikotin dari rokok yang dihisap. Dari jumlah sekecil itu memang tidak langsung membuat orang meninggal tetapi sudah merusak sistem pernapasan dan bagian tubuh yang lain seperti pada gigi dan mulut (Ernest Caldwell, 2001 : 9).
Sesungguhnya akibat negatif dari rokok sudah mulai terasa pada waktu orang mulai menghisap rokok. Dalam asap rokok yang membara karena diisap, tembakau terbakar kurang sempurna sehingga menghasilkan CO, tar, nikotin dan asap sendiri dihirup ke jalan nafas (Farid Indrajaya, 2000) pada perokok berat biasanya timbul mukosa kemerahan di palatum dan terbatas pada daerah yang terpapar uap tembakau rokok. Hal ini lama kelamaan akan berubah menjadi keabu-abuan, menebal, berfisur dan dapat berubah menjadi coklat atau hitam karena deposit tar (Arif Mansjoer, 2000 : 106). Merokok juga menyebabkan penyakit periodontal dan terjadinya karang gigi yang bisa mengeras membentuk calculus (Mervyn G. Hardinge, 2003 : 158). Selain itu merokok dapat menyebabkan plak dan dan lubang (karies pada gigi). (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Pemberdayaan Sumber Daya, 2004).
Kesehatan gigi dan mulut adalah suatu usaha untuk mengurangi penyakit gigi dan mulut yang tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeliharaan gigi dan mulut. Dengan adanya gigi berlubang dan bau mulut yang tidak sedap membuat orang menjadi rendah diri, kurang percaya diri dan akan menjadi kendala di dalam pergaulan. Berdasarkan pernyataan di atas perlu diketahui bahwa mempunyai mulut dan gigi yang sehat bukan hanya indah di pandang melainkan sangat penting bagi kesehatan. (Ilham Prawira, 2001 : 101), untuk membatasi hal ini maka peran perawat melaksanakan penyuluhan kesehatan gigi dengan menambah pengetahuan; mengubah sikap dan mengarahkan tingkah laku sesuai konsep kesehatan gigi dan mulut (Azrul Azwar, 1993). Untuk itu ada beberapa hal yang harus diketahui oleh perokok dan masyarakat yaitu cara berhenti merokok dan melakukan langkah bijak meninggalkan dunia rokok (Dadang Suhendrik, 2000).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RW. 01 Dusun Karang Dalem Dringu Probolinggo pada 10 bapak-bapak yang merokok yang telah diwawancarai, didapatkan 70% kondisi gigi dan mulut kurang (bibir hitam dan disertai plak), 20% kondisi gigi danmulut cukup baik dan 10% dalam kondisi baik (bersih, tidak ada plak). Hal inilah yang mendasari diadakannya penelitian untuk mengetahui secara nyata pengaruh merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut di RW. 01 Dusun Karangdalem Dringu Probolinggo.

1.2 Rumusan Masalah
Adakah pengaruh Kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut di RW. 01 Dusun Karang Dalem Dringu Probolinggo ?.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut di RW. 01 Dusun Karang Dalem Dringu Probolinggo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi perilaku merokok pada masyarakat RW. 01 Dusun Karang Dalem Dringu Probolinggo.
2) Mengidentifikasi kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat RW. 01 Dusun Karang Dalem Dringu Probolinggo.
3) Mengidentifikasi pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat RW. 01 Dusun Karangdalem Dringu Probolinggo.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Diharapkan dari hasil penelitian ini masyarakat mendapat informasi tentang merokok dan perawatan gigi dan mulut bagi perokok.
1.4.2 Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat mengetahui pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut dan juga sebagai tambahan ilmu pengetahuan.
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber data tambahan bagi peneliti berikutnya dan bahan perbandingan penelitian yang akan datang yang sejenis (tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut pada perokok).

Link download KTI lengkap ini
12.pengaruh Kebiasaan merokok terhadap kesehatan gigi dan mulut
BAB I-V

Baca Selengkapnya...

11.pengaruh tingkat ekonomi keluarga ibu hamil terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan pada ibu hamil

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam rahim melalui vagina ke dunia luar (Mansjoer Arif, 1999).
Dalam menghadapi persalinan seorang ibu dapat mempercayakan dirinya pada bidan, dokter umum, dokter spesialis obstetri dan ginekologi bahkan seorang dukun untuk pemeriksaan secara teratur melakukan pengawasan hamil sampai pada persalinan (Ida Bagus gde, 1999). Sedangkan yang diperbolehkan menolong persalinan adalah dokter umum, bidan, perawat yang telah mengikuti pelatihan dan petugas obtetri yang mendapat ketranpilan dari orang tuanya secara tradisional (Dukun beranak) serta ahli kebidanan dan kandungan. Tetapi di negara maju masih banyak persalinan yang ditolong oleh dukun bersalin baik yang terlatih maupun tidak. Hal tersebut bisa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, agama, sosial budaya kadang-kadang juga mempengaruhi pemilihan tenaga penolong saat persalinan (Judi januadi Endjun, 2002). Sehingga Angka Kematian Ibu (AKI) tinggi, menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 angka kematian ibu 390 per 100.000 kelahiran.

Saat ini angka kematian ibu maternal dan bayi seperti halnya negara berkembang khususnya di Indonesia jauh berada di atas angka kematian ibu di negara-negara ASEAN. Sebagai gambaran kematian maternal diperkirakan 500.000 per tahun. Di Indonesia kurang lebih 20.300 kejadian kematian maternal di Indonesia kurang lebih 70 kali lebih tinggai dari negara maju seperti USA. Tiga faktor penyebab utama tingginya angka kematian ibu di Indonesia yaitu perdarahan setelah persalinan, ionfeksi, eklamsia (Departemen Kesehatan RI, 1996).
Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklamsia. Kedua sebab itu sebenarnya bisa dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care : ANC) yang memadai. Tetapi karena pemeriksaan tersebut memakai biaya, para ibu hamil merasa enggan untuk mengeluarkan biaya untuk melakukan pemeriksaan ANC. Khususnya wanita yang tinggal di desa, apalagi ibu dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Walaupun proporsi wanita usia 1-49 tahun yang melakukan ANC minimal 1x telah mencapai lebih dari 80%. Tetapi menurut SDKI 1997 masih sangat rendah, dimana sebesar 54% persalinan masih ditolong oleh dukun bayi (GOL dan UNICEF, 2000) (www.detik.com)
Tingkat ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam kesehatan dimana dengan alasan tidak mempunyai biaya (penghasilan rendah) masyarakat yang lebih memilih pengobatan tradisional dengan biaya relatif murah. Bagi masyarakat yang mempunyai penghasilan tinggi biaya kesehatan berapapun besarnya sering kali tidak menjadi persoalan, tetapi tidak demikian halnya bagi masyarakat yang tidak mampu (http :// www.balipost.co.id ). Status ekonomi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal diantara pekerjaan penghasilan dan pendidikan (H. Abu Ahmadi, 1997)
Dari survei dilakukan di desa wates kulon dengan jumlah penduduk 4000 orang yang terdiri dari 600 kepala keluarga didapatkan data 120 KK (20%) termasuk dalam tingkat ekonomi tinggi 210 KK (35%) termasuk dalam tingkat ekonomi sedang, 270 KK (45%) termasuk dalam tingkat ekonomi rendah
Begitu juga yang selama ini terjadi di masyarakat Wates Kulon. Mereka cenderung memilih pertolongan ke dukun saat persalinan daripada ketenaga kesehatan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi masyarakat. Semua itu dapat dilihat dari masyarakat yang tidak pernah memeriksakan diri ke Puskesmas saat hamil.
Dan berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada 10 orang ibu melahirkan di desa Wates Kulon didapatkan 6 orang melahirkan ke dukun karena biayanya lebih murah dan 4 orang melahirkan ke bidan dengan alasan keselamatan lebih terjamin.
Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut sejauh mana tingkat ekonomi keluarga mempengaruhi pemilihan pertolongan saat persalinan di desa Wates Kulon Kecamatan Ranuyoso Tahun 2005.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yakni, “Adakah pengaruh tingkat ekonomi keluarga ibu hamil terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan pada ibu hamil di desa Wates Kulon tahun 2005”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mempelajari pengaruh tingkat ekonomi keluarga ibu hamil terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan.

1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat ekonomi keluarga ibu hamil di desa Wates Kulon.
1.3.2.2 Mengidentifikasi pemilihan pertolongan saat persalinan pada ibu hamil di desa Wates Kulon.
1.3.2.3 Mengidentifikasi pengaruh tingkat ekonomi keluarga ibu hamil terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan di desa Wates Kulon.
1.4 Manfaat Peneliti
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai masukan bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman tentang pengaruh tingkat ekonomi keluarga terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan.
1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan tingkat ekonomi dan pemilihan pertolongan saat persalinan.
1.4.3 Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perawat tentang pentingnya pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pencapaian standart pelayanan.
1.4.4 Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi atau bahan masukan tentang upaya-upaya yang digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan asuhan keperawatan dalam hal pelayanan kesehatan.

Link download KTI lengkap ini
11.pengaruh tingkat ekonomi keluarga ibu hamil terhadap pemilihan pertolongan saat persalinan pada ibu hamil
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

10.Pengaruh Kesehatan Fisik Terhadap Status Gizi Pada Lansia

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menua (Aging) merupakan proses normal yang dimulai sejak konsepsi dan berakhir saat kematian. Selama periode pertumbuhan proses anabolisma melampaui proses katabolisma. Pada saat tubuh mencapai tingkat kematangan fisiologik, kecepatan katabolisma atau proses degenerasi lebih besar daripada kecepatan proses regenarasi sel (anabolisma). Akibat yang timbul adalah hilangnya sel-sel yang berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ. Dengan demikian menua ditandai dengan kehilangan secara progresif lean body mass (jaringan aktif tubuh) dan perubahan-perubahan disemua sistem didalam tubuh manusia (R. Boedi Darmojo dan Hadi Martono, 2000).

Pertambahan usia akan menimbulkan beberapa perubahan, baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini akan mempengaruhi kondisi seseorang dari aspek psikologis, fisiologis dan sosioekonomi. Lebih lanjut perubahan-perubahan tersebut akan mengakibatkan terjadinya kemunduran biologis. Kemunduran ini, tentunya akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi beberapa organ tubuh. Salah satu fungsi penting organ tubuh yang berperan dalam mempertahankan dan menciptakan kesehatan yang prima adalah fungsi organ yang berkaitan dengan makanan dan pencernaannya (Emmas Wirakusumah, 2004).
Peningkatan jumlah dan proporsi usia lanjut dari tahun ke tahun merupakan fenomena demografi global dinegara maju maupun dinegara sedang berkembang. Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia per Propinsi tahun 1995 – 2005 dari biro pusat statistik setidaknya terdapat 6 Propinsi yang pada tahun 2000 telah memiliki penduduk berstruktur tua (Aging Population) yaitu Propinsi D.I. Yogyakarta (13,72 %), Jawa Timur (10,54 %), Bali (9,79 %), Jawa Tengah (9,55 %), Sulawesi Selatan (7,63 %) dan Sumatera Barat (9,035 %) (RAN Kesejahteraan Lansia, 2000).
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami baik gizi lebih maupun kekurangan gizi. Boedi Darmojo (1995) melaporkan bahwa lansia di Indonesia yang dalam keadaan kurang gizi ada 3,4 %, berat badan kurang sebesar 28,3 %, berat badan ideal berjumlah 42,4 %, berat badan lebih ada 6,7 % dan obesitas sebanyak 3,4 %. Temuan proporsi lansia yang kurang gizi di Indonesia pada tahun 1994 tersebut tidak banyak berbeda dengan temuan di Inggris tahun 1972 dan 1979 yakni sebesar 3 %. Setelah di follow up ternyata lansia di Inggris yang menjadi kurang gizi meningkat 2 kali lipat, lima tahun kemudian (R. Boedi Darmojo & Hadi Martono, 2000).
Survei rumah tangga tahun 1980, angka kesakitan penduduk usia lebih dari 55 tahun sebesar 25,70 % diharapkan pada tahun 2000 nanti angka tersebut akan menurun menjadi 12,30 % (Depkes RI, Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia Bagi Petugas Kesehatan I, 1992) (Wahjudi Nugroho, 2000).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 lansia di Posyandu lansia Kelurahan Kepuharjo didapatkan lansia dengan berat badan kurang 30 %, berat badan ideal 50 %, 20 % dengan berat badan lebih dan 70 % mengalami masalah kesehatan fisik antara lain adanya gangguan sirkulasi darah, gangguan persendian dan tulang, gangguan metabolisme hormon dan sebagainya.
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat dan penyebabnya oleh berbagai faktor yang terkait satu dengan yang lainnya (I Dewa Nyoman S, Bachyar Bucri dan Ibnu Fajar, 2002). Perubahan status gizi pada lansia disebabkan oleh perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Perubahan ini makin nyata pada kurun usia dekade 70-an. Faktor lingkungan antara lain meliputi perubahan kondisi sosial ekonomi yang terjadi akibat memasuki masa pensiun dan isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah pasangannya meninggal. Faktor kesehatan yang berperan dalam perubahan status gizi antara lain naiknya insidensi penyakit degenerasi maupun non degenerasi yang berakibat dengan perubahan dalam asupan makanan, perubahan dalam absorpsi dan utilisasi zat-zat gizi ditingkat jaringan dan pada beberapa kasus dapat disebabkan oleh obat-obat tertentu yang harus diminum para lansia oleh karena penyakit (R. Boedi Darmojo & Hadi Martono, 2000).
Adapun penyakit yang sering dijumpai pada lansia menurut Stieglitz (1945) yakni gangguan sirkulasi darah seperti hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah diotak (koroner) dan ginjal, gangguan metabolisme hormonal, seperti diabetes militus, klimaterium dan ketidakseimbangan tiroid, gangguan pada persendian seperti osteoartitis, gout artritis ataupun penyakit kolagen lainnya dan berbagai macam penyakit neoplasma (Wahjudi Nugroho, 2000).
Gangguan gizi pada lansia dapat menyebabkan munculnya penyakit atau terjadi sebagai akibat adanya penyakit tertentu. Oleh karena itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan terlebih dahulu ada tidaknya gangguan gizi, mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan gizi serta merencanakan bagaimana gangguan gizi tersebut dapat diperbaiki (R. Boedi Darmojo & Hadi Martono, 2000).
Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang pengaruh kesehatan fisik terhadap status gizi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan sebagai berikut : “Adakah Pengaruh Kesehatan Fisik Terhadap Status Gizi Pada Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005 ?”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya pengaruh kesehatan fisik terhadap status gizi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi kesehatan fisik pada sistem kardiovaskuler pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005
1.3.2.2 Mengidentifikasi kesehatan fisik pada sistem gastrointestinal pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005
1.3.2.3 Mengidentifikasi status gizi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005
1.3.2.4 Mengidentifikasi pengaruh kesehatan fisik pada sistem kardiovaskuler terhadap status gizi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005
1.3.2.5 Mengidentifikasi pengaruh kesehatan fisik pada sistem gastrointestinal terhadap status gizi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Kepuharjo Kecamatan Lumajang Tahun 2005

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
1.4.1 Bagi Peneliti
Mengaplikasikan teori ke paparan yang nyata dalam penelitian.
1.4.2 Bagi Lansia
Diharapkan mampu menjaga kesehatan fisik dengan baik sehingga dapat mencapai status gizi yang seimbang.
1.4.3 Bagi Puskemas
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menentukan suatu program yang mengarah pada peningkatan status gizi dan kesehatan fisik pada lansia.
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi pada lansia.

Link download KTI lengkap ini
10.Pengaruh Kesehatan Fisik Terhadap Status Gizi Pada Lansia
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

08.Pengaruh Pemaparan Faktor Kimia Lingkungan Kerja Terhadap Keluhan Gangguan Sistem Pernafasan Pada Pengrajin Manik-Manik

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan kehidupan serta budaya manusia yang cenderung ke arah ultra modern, maka resiko penyakit akibat kerja akan meningkat pula. Hal terutama dirasakan pada modernisasi yang menggunakan berbagai bahan kimia beracun. (Dainur, 1995 : 84)
Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja. Dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. (Pusat Kesehatan Kerja. www.depkes.go.id : 2005)

Suatu pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu lingkungan atau situasi, yang berakibat beban tambahan pada jasmani dan rohani tenaga kerja. Faktor penyebab beban tambahan lingkungan kerja yang dimaksud adalah faktor fisik, kimia, biologi, fisiologis dan mental psikologis. Dimana faktor kimia terdiri dari gas, uap, debu, kabut, asap, cairan dan benda padat dari bahan-bahan kimia. Faktor-faktor tersebut dalam jumlah yang cukup dapat mengganggu daya kerja seorang tenaga kerja. (Suma’mur, 1995 : 49 )
Sebagai misal sederhana, bahan kimia organik acrylonitrile yang bersifat cairan dipakai dalam pembuatan karet sintetis resin dan serat akrilik mempunyai efek kesehatan yaitu apabila akut uapnya merupakan iritan mata yang kuat dan perangsang kulit. Nyeri kepala, bersin, kelemahan, pusing kepala sampai menyebabkan asfiksia dan kematian. Dan apabila kronik acrylonitrile bersifat karsinogenik. ( J.M. Harrington dan F. S. Gill. 2003 : 129 )
Saluran nafas atas dan bawah sangat rawan terhadap bahan berbahaya ditempat kerja. Lebih dari 80 % bahan ini masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernafasan. Misalnya asma akibat kerja yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis debu. Apabila debu-debu tersebut dihirup akan sampai ke paru, sehingga mengurangi penggunaan optimal organ-organ sistem pernafasan untuk mengambil oksigen dari udara bebas. Efek pemajanan seperti itu juga dapat dirasakan pada sistem organ lainnya, tetapi kerusakannya seringkali terletak pada saluran udara dan paru.(JM. Harrington dan F. S. Gill. 2003 : 85 )
Gangguan fungsi pernafasan umumnya dihubungkan dengan penurunan fungsi saluran pernafasan dan paru. Keluhan secara subyektif biasanya dengan mengamati adanya gejala yang dominan yaitu batuk dan sesak napas. Sulit untuk menentukan secara kuantitatif dari gejala utama akibat gangguan pernafasan karena tidak ada baku emas yang jelas dan obyektif sampai saat ini (Trihastuti, 2002 : 81).
Gangguan-gangguan pada kesehatan dan daya kerja akibat berbagai faktor dalam pekerjaan bisa dihindarkan, asal saja ada kemauan baik dari pekerja untuk mencegahnya. Cara-cara mencegah gangguan-gangguan tersebut adalah dengan cara subtitusi, ventilasi umum, ventilasi keluar setempat, isolasi, pakaian/alat pelindung, pemeriksaan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan secara berkala, penerangan sebelum bekerja dan pendidikan tentang kesehatan. ( Effendy, Nasrul, 1998 : 131 )
Dari hasil studi pendahuluan selama bulan mei 2005 di dapatkan data bahwa bahan utama kerajinan manik-manik di desa Tutul kecamatan Balung antara lain : yang berasal dari bahan kimia resin mengandung bahan kimia acrylonitrile dan sebagai bahan pengeras yaitu Methyl ethyl keton perokxide yang dapat menghasilkan debu dari proses penggerindaan dalam pembuatannya. Dari 10 pengrajin manik-manik dari bahan kimia, 4 diantaranya mengeluhkan sesak jika bau yang menyengat terhirup dan batuk jika debu masuk ke hidung dan mulut. Sedangkan pada pengrajin yang berasal dari bahan non kimia (tulang dan kayu), dari 10 pengrajin 2 diantaranya mengeluhkan sering batuk waktu bekerja.Berdasarkan data dari puskesmas Balung Kabupaten Jember mengenai angka kejadian Ispa selama tahun 2005 adalah sebanyak 1315 orang atau 32 % dari sejumlah jenis penyakit terbanyak dan menempati urutan pertama sebelum penyakit golongan gastroenterologi.
Dari penjelasan di atas telah disebutkan bahwa bahan kimia yang berupa gas, uap, debu, asap, cairan dan benda padat dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan yang mengakibatkan bronkospasme saluran pernafasan sehingga timbul batuk dan sesak nafas sebagai keluhan utama pada kelainan saluran pernafasan. (Stein, Jay. H, 1998 : 115 ).
Dari pernyataan diatas peneliti menjadi tertarik untuk meneliti “Pengaruh Pemaparan Faktor Kimia Lingkungan Kerja Terhadap Keluhan Gangguan Sistem Pernafasan Pada Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember Tahun 2006”.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
“Adakah Pengaruh Pemaparan Faktor Kimia Lingkungan Kerja Terhadap Keluhan Gangguan Sistem Pernafasan Pada Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember Tahun 2006”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Pengaruh Pemaparan Faktor Kimia Lingkungan Kerja Terhadap Keluhan Gangguan Sistem Pernafasan Pada Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember Tahun 2006.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pemaparan faktor kimia lingkungan kerja pada pengrajin manik-manik
2. Mengidentifikasi keluhan gangguan sistem pernafasan pada pengrajin manik-manik
3. Menganalisa pengaruh pemaparan faktor kimia lingkungan kerja terhadap keluhan gangguan sistem pernafasan pada pengrajin manik-manik di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat memberikan masukan tentang sejauh mana pengaruh faktor kimia lingkungan kerja terhadap keluhan gangguan sistem pernafasan pada pengrajin manik manik
1.4.2 Bagi Instansi (Puskesmas)
Sebagai masukan untuk instansi terkait dalam rangka menentukan strategi untuk mengoptimalkan produktivitas kerja pengrajin manik manik di wilayah kerjanya.
1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data pertimbangan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kesehatan kerja dan produktivitas kerja pada pengrajin yang memakai bahan kimia sebagai bahan baku kerajinannya.

Link download KTI lengkap ini
08.Pengaruh Pemaparan Faktor Kimia Lingkungan Kerja Terhadap Keluhan Gangguan Sistem Pernafasan Pada Pengrajin Manik-Manik
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

07.pengaruh penerapan terapi bermain terhadap penurunan School Phobia pada pra sekolah anak usia 4–6 tahun

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bermain merupakan dunia anak-anak karena bermain adalah salah satu kegiatan yang sangat disukai anak, bahkan orang dewasa pun menyenangi beberapa permainan. Melalui permainan anak akan mengenal sekaligus belajar berbagai hal tentang kehidupannya serta dapat melatih keberanian dan menumbuhkan kepercayaan diri. Melalui permainan, anak dapat mengekspresikan diri untuk memperoleh kompensasi atas hal-hal yang tidak mungkin dialaminya.
Permainan mempunyai peranan penting dalam pembinaan kepribadian anak serta membantu pertumbuhan dan perkembangan. Pada umumnya bermain merupakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional anak. Permainan dapat dikatakan bersifat universal karena hidup pada semua masyarakat di dunia. Permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak. Melalui permainan tidak hanya jasmani anak yang berkembang, tetapi juga kognisi, emosi, sosial, fisik, dan bahasa.(Ardhana, 2008)

Bermain dari segi pendidikan adalah permainan yang memberi peluang kepada anak, berswakarsa, untuk melakukan dan menciptakan sesuatu dari permainan itu sendiri. Belajar pada masa awal pendidikan formal didapatkan di TK atau Taman Kanak-kanak. TK adalah tempat anak belajar dan berkembang lewat permainan. Di TK anak diajarkan mengenal aturan, disiplin, tanggung jawab dan kemandirian dengan cara bermain di TK anak juga belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan
Hari pertama mengantar anak balita masuk Taman Kanak-kanak (TK) merupakan pengalaman yang sangat berkesan bagi orang tua. Namun kebahagian itu tidak berlangsung lama anak tiba-tiba tidak mau masuk sekolah dengan berbagai alasan. Pada awal masuk TK, berarti anak harus memasuki “keadaan baru”, dimana lingkungan teman dan kegiatan yang harus mereka ikuti berbeda dengan yang di rumah. Bagi anak, hal tersebut dapat menimbulkan stress, kecemasan, sehingga anak menghindar bahkan menolak untuk sekolah. Hal tersebut dikenal dengan school phobia. (Darsono, 2007)
Menurut Endah, faktor genetik dapat mempengaruhi anak menolak sekolah. Genetik berpengaruh terhadap sifat, kepribadian dan karakter anak. Biasanya anak yang menolak pergi ke sekolah cenderung memiliki sifat mudah cemas, pemalu, takut dan was-was. Sebagian besar sifat tersebut diturunkan orangtua kepada anak. Selain genetik, penolakan sekolah juga diakibatkan pola asuh yang tak benar, misalnya pola asuh yang otoriter. Dengan pola ini, kreativitas anak akan terpasung dan perkembangan fisik mentalnya pun terhambat. “Pola asuh otoriter juga membuat anak tak aktif dan cenderung pendiam. Jika pola ini terus diterapkan menurut Endah secara otomatis mempengaruhi kondisi sosial anak, di sekolah misalnya, lingkungan sekolah biasanya menuntut anak bergaul dan bekerjasama dengan teman-temannya serta dituntut kreativitas yang tinggi. (Arjana, 2006)
Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1-2 minggu. (Bali Post, 2002)
School Phobia terjadi pada 5% dari anak usia pra sekolah dan terjadi pada 2% dari anak usia sekolah. Di Amerika kejadian school phobia terjadi ± 28% pada anak usia sekolah beberapa waktu selama pendidikan mereka. School phobia ini terjadi pada anak laki-laki maupun anak perempuan, tetapi hal ini lebih sering terjadi pada anak perempuan dari pada anak laki-laki. (Paige, 1998).
Pada studi pendahuluan, didapatkan data bahwa di TK Dharmawanita Desa Ngenep Kecamatan Karang ploso Kabupaten Malang, pada tahun 2005 school phobia > 2 minggu terdapat 7 anak diantara 31 murid baru. Tahun 2006 murid baru 30, yang school phobia 6 anak. Pada tahun ajaran 2007 murid baru 34 anak yang school phobia 10 orang, pada tahun 2008 murid baru 32 anak yang school phobia adalah sebanyak 10 orang. Gejala school phobia pada 10 anak ini di identifikasi dengan melakukan wawancara secara lisan dengan para guru dan orang tua murid. Di TK Dharmawanita sudah diterapkan permainan mewarnai, puzzle, dan menyusun balok tetapi permainan puzzle dan menyusun balok jarang diberikan karena keterbatasan alat permainan tersebut.
Dari fenomena di atas, penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh penerapan terapi bermain terhadap penurunan school phobia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian yang dirumuskan adalah “Adakah pengaruh penerapan terapi bermain terhadap penurunan School Phobia pada pra sekolah anak usia 4–6 tahun di TK Dharmawanita Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang?”

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan terapi bermain terhadap penurunan school phobia pada anak pra sekolah usia 4-6 tahun di TK Dharmawanita Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gejala school phobia pada anak sebelum diterapkan terapi bermain.
2. Mengidentifikasi gejala school phobia pada anak setelah diterapkan terapi bermain.
3. Menganalisa pengaruh penerapan penerapan terapi bermain terhadap penurunan school phobia.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai penerapan teori, pengalaman proses belajar serta menambah wawasan pengetahuan khususnya di bidang penelitian.
1.4.2 Bagi Pendidikan
Bagi TK Dharmawanita Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Malang. Merupakan suatu masukan dalam penanganan school phobia pada anak, khususnya murid baru.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Memperkaya penulisan karya ilmiah dan juga sebagai masukan institusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama untuk meningkatkan mutu di bidang pendidikan.
1.4.4 Bagi peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, sebagai informasi awal dalam penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan bermain pada anak school phobia di Taman Kanak-kanak.

Link download KTI lengkap ini
07.pengaruh penerapan terapi bermain terhadap penurunan School Phobia pada pra sekolah anak usia 4–6 tahun
BAB I-V

Baca Selengkapnya...

06.PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA HIPERTENSI TERHADAP DIIT HIPERTENSI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit hipertensi sebagian besar diderita oleh lansia dan digolongkan sebagai penyakit degeneratif, tetapi dapat pula dialami oleh orang yang belum lansia (usia anak, remaja atau dewasa). Tekanan darah tinggi atau Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Mansjoer, 1999). Penderita hipertensi dari tahun ketahun cenderung meningkat, karena banyak faktor yang menyebabkan penyakit hipertensi misal gaya hidup tidak sehat, lingkungan pendidikan, pengalaman bisa juga masyarakat kurang informasi tentang diet pada penyakit hipertensi. Maka dari itu tingkat pengetahuan penderita hipertensi tentang diet penyakit hipertensi sangat diperlukan karena dapat mempengaruhi status kesehatannya. Namun kadang-kadang seseorang tidak mengetahui dirinya menderita tekanan darah tinggi sehingga gaya hidup dan pola makannya sembarangan.
Sementara itu sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat nasional, penderita tentang hipertensi di Indonesia yang dapat menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Pada umumnya prevalensi berkisar antara 1,8 – 28.6 % penduduk yang berusia diatas 20 tahun sebagi perbandingan di Amerika 15 % golongan kulit putih dewasa dan 25 – 30 % kulit hitam adalah hipertensi (Tjokronegoro, 2001).

Penderita hipertensi di Puskesmas Mrican pada bulan Agustus sebanyak 41 orang.
Hipertensi merupakan penyakit yang membahayakan karena dapat merusak system saraf (otak) dengan pecahnya pembuluh darah di otak. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan dan mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Tingginya tekanan darah yang lama tentu saja akan merusak pembuluh darah diseluruh tubuh yang paling jelas pada mata, jantung, ginjal, dan otak. Maka dampak yang biasa pada hipertensi yang lama tidak terkontrol adalah gangguan penglihatan, oklusi koroner, gagal ginjal dan stroke. Selain itu jantung membesar karena dipaksa meningkatkan beban kerja saat pemompa melawan tingginya tekanan darah. (Stuart and Sundeen, 2001). Para pakar sendiri sering mengingatkan, penyakit jantung antara lain diperoleh akibat konsumsi lemak jenuh berlebihan dan kolesterol dari makanan hewani. Sedangkan serat dalam makanan nabati justru menurunkan kadar kolesterol darah, mengendalikan kadar gula darah dan sekaligus menurunkan berat badan. Kurangnya pengetahuan tentang diet dan keseimbangan zat-zat makanan yang perlu diserap oleh tubuh, bisa berakibat rusak. (www. Vegetarian.2000. 12. 15, Jum’at).
Salah satu upaya yang mempunyai peran utama adalah pengendalian lipida dan tekanan darah melalui edukasi tentang gaya hidup sehat, konsumsi gizi seimbang serta memelihara berat badan ideal, hidup aktif berolah raga serta tidak merokok. Upaya kuratif yang mahal seperti perawatan intensif, tidak besar peranannya terhadap penurunan moralitas dalam populasi, hindari hidup stress dan tidur yang cukup (library.php.id.co.id: 2000).
Dari fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian tentang Pengaruh Tingkat Pengetahuan Terhadap Diet Hipertensi pada Penderita Hipertensi.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dianalisa pada penelitian ini adalah adakah pengaruh tingkat pengetahuan terhadap diet hipertensi pada penderita hipertensi.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum.
Menjelaskan pengaruh tingkat pengetahuan penderita hipertensi terhadap diet hipertensi.
1.3.2 Tujuan Khusus.
1.3.2.1 Mengidentifikasi pengaruh tingkat pengetahuan penderita terhadap penyakit hipertensi.
1.3.2.2 Mengidentifikasi pengaruh tingkat pengetahuan penderita terhadap diet hipertensi.
1.3.2.3 Menganalisa pengaruh tingkat pengetahuan terhadap diet hipertensi pada penderita hipertensi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti.
Sebagai sarana untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah dan menambah pengalaman penelitian dalam melakukan penelitian dan sebagai syarat menyelesaikan pendidikan Diploma III Keperawatan.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan.
Sebagai pengembangan ilmu yang telah ada dan dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk kegiatan penelitian selanjutnya
1.4.3 Bagi Keluarga dan Masyarakat
Hasil ini diharapkan akan berguna untuk meningkatkan pengetahuan keluarga terhadap penyakit hipertensi sehingga timbul kesadaran setiap keluarga untuk mencegah penyakit hipertensi dan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya dapat ditingkatkan.
1.4.4 Bagi Instasi Kesehatan.
Hasil penelitian diharapkan berguna sebagai masukan di tempat pelayanan kesehatan dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
1.4.5 Bagi Pemerintah.
Sebagai masukan untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik lagi bagi masyarakat melalui program – program yang telah ada.

1.5 Batasan Penelitian
Untuk mengarah ruang lingkup penelitian maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
1.5.1 Pengaruh tingkat pengetahuan penderita hipertensi terhadap diet hipertensi.
1.5.2 Klien rawat jalan di Puskesmas Mrican Kediri.

Link download KTI lengkap ini
06.PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA HIPERTENSI TERHADAP DIIT HIPERTENSI
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

05.pengaruh tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ganggren pada etrimitas bawah merupakan suatu komplikasi bagi pasien dengan Diabetes Melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi dan ganggren dapat berkembang serta terdapat risiko tinggi perlu dilakukannya amputasi tungkai bawah (Morison, 2003 : 181).

Ada 3 alasan mengapa orang dengan Diabetes lebih tinggi risikonya mengalami masalah kaki, yaitu : sirkulasi darah dari tungkai yang menurun (gangguan pembuluh darah), berkurangnya perasaan pada kedua kaki (gangguan saraf), berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi (Vivi : 2006), perawatan kaki yang baik bagi seorang yang menderita Diabetes diperlukan. Guna menghalangi terjadinya ganggren (Beale & Wong, 1996 : 12). Hygiene yang baik sangat lah penting bagi pasien Diabetes untuk mencegah timbulnya infeksi (Long, 1996 : 49). Pasien harus dibantu untuk menjaga agar kulitnya selalu bersih dan kering, khususnya di daerah yang lembab. Karena pada tempat tersebut beresiko terjadinya luka akibat gesekan dan infeksi jamur. Perawatan preventif juga harus dilakukan pada kaki – kaki yang harus dibersihkan, dikeringkan, diminyaki (kecuali pada celah antara jari dan kaki) dan sering diperiksa (Smeltzer, 2001 : 1280). Kaki pasien Diabetes dapat mengalami sakit pembuluh darah kecil dan hilangnya rasa sakit karena terjadi kerusakan pada saraf. Hal ini akan menyebabkan lambatnya penyembuhan dan mudah terkena trauma dan terjadi infeksi (Beale & Wong, 1996 : 12), selalu menjaga kebersihan dapat mencegah terjdinya infeksi. (Atikel Kesehatan, 2006).
Berdasarkan data dari ruang Rekam Medik RS Babtis Kediri pada bulan Januari sampai Desember 2006 diperoleh data pasien Diabetes Melitus sebanyak 264 pasien dan pasien Diabetes Melitus dengan ganggren sebnyak 58 pasien. Jumlah rata – rata per ruangan untk pasien DM 86 pasien dan pasien DM dengan ganggren 19 pasien. Atas dasar situasi yang ada maka perawat dituntut mampu untuk membantu masalah terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus.
Pasien yang terkena Diabetes merupakan intruksi perawatan kaki yang tepat. Banyak komplikasi yang dapat dihindari jika pasien dimotivasi untuk melaksanakan perawatan kaki yang tepat sebagai bagian dari hygiene mereka setiap hari. (Patria dan Anne, 2005 : 1366). Kaki Diabetes yang tidak dirawat dengan baik akan mudah mengalami luka. Luka ini dapat menjadi parah bahkan menjadi ulkus ganggren bila tidak ditanggulangi. (Vivi, 2006). Kadang – kadang telambatnya pengobatan kaki dapat menyebabkan ganggren. Jika ganggren tidak dirawat dengan baik dapat menyebabkan amputasi.
Kenyataan yang ada di lapangan saat ini, tindakan mandiri perawat dalam memberikan tindakan pencegahan tejadinya ganggren sudah dilakukan tetapi belum optimal. Tindakan pencegahan yang dapat digunakan oleh perawat salah satunya adalah dengan tindakan personal hygiene yang tepat. Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh personal hygiene tehadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus.

1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan dari masalah yang ada diatas maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
Adakah pengaruh tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan pengaruh tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Pengaruh melakukan tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus
1.3.2.2 Pengaruh tidak melakukan tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus
1.3.2.3 Membandingkan terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus antara
melakukan tindakan personal hygiene dengan yang tidak melakukan personal hygiene.






1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pasien
Dapat mencegah terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus.
1.4.2 Bagi Perawat
Dapat meningkatkan asuhan keperawatan secara komprehensif teutama dalam memberikandukungan untuk melakukan pencegahan terjadinya ganggren pada Diabetes Melitus.
1.4.3 Bagi Institusi
1.4.3.1 Rumah Sakit
Dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih berkualitas bagi pasien yang menjalani rawat inap terutama bagi pasien Diabetes Melitus.
1.4.3.2 Pendidikan
Dapat menambah wawasan mahasiswa tentang pelaksanaan tentang personal hygiene pada pasien Diabetes Melitus.
1.4.4 Bagi penulis
Penelitian ini menjadi dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang tindakan personal hygiene secara lebih komprehensif.

Link download artikel lengkap ini
05.pengaruh tindakan personal hygiene terhadap terjadinya ganggren pada pasien Diabetes Melitus
BAB I-II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

04.Pengaruh pendididkan dengan pengetahuan tentang hipertensi pada lansia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Di negara industri hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia, hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan oleh Dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer karena angka prevalensinya yang tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkannya. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi 2 golongan yaitu hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik dan hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. (Arjatmo Tjkronegoro, DKK 2001).

Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat rasional, multisenter, yang dapat menggambarkan prevalens hipertensi secara tepat. Banyak penyelidikan dilakukan secara terpisah dengan metodologi yang belum baku.
Boedhi Darmojo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8 – 28,6 % penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah pasien hipertensi, pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6 – 10 %. Prevalensi terendah yang dikemukakan dari data tersebut berasal dari desa Kalirejo, Jawa tengah, yaitu sebesar 1,8 %, sedangkan di Aceh, Sumut, sebesar 5,3 %. Data lain yang dikemukakan Gunawan S. yang menyelidiki masyarakat terisolasi dilembah Baliam, Irian Jaya, mendapatkan prevalensi hipertensi 0,65 %. (Arjatmo Tjkronegoro, DKK 2005).
Penelitian prevalensi hipertensi pada pelajar sekolah menengah tingkat pertama dilaporkan oleh Wasilah Rochmah dan kawan – kawan di Yogyakarta, sedangkan Robinson Harahap meneliti pada pelajar sekolah menengah tingkat atas di Jakarta dari 203 pelajar SMP di Yogyakarta yang diteliti. Berumur 12 – 17 tahun, didapatkan 10 pelajar dengan tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah Diastolik sama dengan atau diatas 90 mmHg dari 3612 pelajar SMA di Jakarta berumur 12 – 15 tahun di dapatkan 3,3 % menderita hipertensi. (Artmodjo Tjkronegoro, 2001).
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranajk dari waktu yang penuh dengan manfaat bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu. Ia sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin (Elizabet. Burlock, 1999: 380).
Saat abad ke 21 mulai menjelang terdapat lebih banyak orang lansia hidup di bumi dari pada usia yang pernah dicapai dalam sejarah dari tahun 1900 sampai 1984. Populasi masyarakat lansia berusia 65 tahun dan lebih di Amerika Serikat berkembang dari kurang lebih 3 juta menjadi 28 juta dari usia lanjut di Bumi, diantaranya tinggal dinegara – negara berkembang jadi populasi lansia merupakan fenomena Dunia (Josep J Gallo, 1998).
Saat ini Jatim berpenduduk sekitar 36 juta jiwa, diperkirakan empat juta jiwa atau 11 persen lanjut usia. Tahun 2003 jumlah lansia hanya 3,5 juta, jadi ada kenaikan sekitar 500 ribu orang. Kenaikan jumlah lansia tersebut dikarenakan semakin baiknya pelayanan dan tingkat kesehatan di Jatim seiring peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan semakin meningkatnya pelayanan kesehatan pemerintah kepada lansia, maka usia harapan hidup lansia bertambah menjadi 6 tahun “ini merupakan suatu kemajuan yang sangat menggembirakan bagi masyarakat lansia di Indonesia khususnya di Jatim” tuturnya. ( jatim go.id 2006)
Jumlah lansia saat ini di UPS Wredha Tulungagung adalah 70 orang

1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut, adalah pengaruh pendididkan dengan pengetahuan tentang hipertensi pada lansia di UPS Panti Wredha Waluyo Husodo.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Penelitianini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan lansia tentang hipertensi pada lansia di UPS Panti Wredha Waluyo Husodo.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi pengetahuan lansia tentang hipertensi di UPS Panti Wredha Waluyo Husodo.
2. Mengidentifikasi pengetahuan lansia tentang penyebab hipertensi.
3. Mengidentifikasi pengetahuan lansia tentang tanda dan gejala.
4. Mengidentifikasi pengetahuan lansia tentang komplikasi hipertensi.
5. Mengidentifikasi pengetahuan lansia tentang penatalaksanaan hipertensi

1.4 Manfaat Penellitian
1.4.1 Manfaat bagi penulis
Hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan D III Keperawatan sebagai tugas akhir mahasiswa AKPER PGRI KEDIRI.
1.4.2 Bagi lansia
Dapat meningkatkan pengetahuan pada lansia terhadap hipertensi.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Sebagai pengembangan ilmu yang telah ada dan dapat dijadikan sebagai kajian untuk kegiatan penelitian selanjutnya

1.5 Batasan penelitian
Untuk mengarahkan ruang lingkup penelitian maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut :
1.5.1 Pengetahuan lansia tentang hipertensi
1.5.2 Lansia yang berada di UPS Panti Wredha Waluyo Husodo

Link download artikel lengkap ini
04.Pengaruh pendididkan dengan pengetahuan tentang hipertensi pada lansia
BAB I-II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

03.Pengaruh motivasi keluarga terhadap mekanisme koping lansia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Kemajuan ekonomi, perbaikan gizi dan lingkungan hidup serta majunya ilmu pengetahuan sehingga mampu meningkatkan umur harapan hidup lansia (Nugroho, 2000 ). Proses menua merupakan proses yang harus terus menerus secara ilmiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup, namun manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan otot. Sususan saraf jaringan lain sehingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit.lanjut usia akan selalu bergandengan dengan perubahan-perubahan fisik, mental maupun psiko sosial (Nugroho, 2000). Secara individu proses ketuaan pada lansia menimbulkan berbagai masalah, gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain (Sri Kuntjoro, 2002). Sedangkan keluarga adalah salah satu pendukung perawatan lansia yang mengalami masalah seperti diatas sangat berperan penting.

Dari data awal di yang diperoleh peneliti dari ketua RW 10. Desa Mojoroto Kabupaten Kediri pada bulan Nopember 2006 terdapat sekitar 73 lansia baik laki-laki ataupun perempuan.
Pada umumnya lansia memiliki cara untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi. Setiap lansia memiliki cara sendiri-sendiri. Upaya mengatasi masalah yang dihadapi dikenal dengan istilah koping. Koping identifikasi sebagai upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi stessor baik dari sisi maupun lingkungannya. Strategi koping (mekanisme koping) akan digunakan secara berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya dan dari suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya.Tidak sedikit permasalahan yang dihadapi lansia pada daerah tersebut khususnya perubahan-perubahan psikologis pada lansia. Misalnya terjadinya masa pensiun, merasakan akan kematian dan kehilangan hubungan dengan anggota keluarga, teman-teman ataupun kekuatan fisik seperti linu-linu, dan tekanan darah tinggi. Sedangkan peranan keluarga sangat dibutuhkan lansia untuk memberikan dorongan terhadap cara untuk mengatasi segala permasalahan yang sedang dihadapi sehingga lansia dapat mencapai masa tua yang bahagia. Akan tetapi jika motivasi keluarga kurang dalam memberikan perhatian terhadap lansia maka mekanisme koping yang akan dilakukan oleh lansia akan bersifat maladaptif.
Dalam hal ini motivasi keluarga sangat dibutuhkan oleh para lansia dalam penggunaan mekanisme koping yang efektif dari lansia dengan tujuan agar lansia tetap dapat menjalankan kegiatan sehari-hari secara teratur. Motivasi yang bisa dilakukan oleh keluarga terhadap lansia dapat berupa memberikan perhatian dan menjaga hubungan antara keluarga agar selalu dekat.
Dari fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai yang berjudul “Pengaruh motivasi keluarga terhadap mekanisme koping lansia”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah pada penelitian ini adalah Pengaruh Motivasi Keluarga Dengan Mekanisme Koping Lansia Di RW 10 Desa Mojoroto Kabupaten Kediri ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh motivasi keluarga dengan mekanisme koping lansia di RW 10 Desa Mojoroto Kabupaten Kediri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi motivasi keluarga di RW 10 Desa Mojoroto Kabupaten Kediri.
1.3.2.2 Mengidentifikasi mekanisme koping lansia RW 10 Desa Mojoroto Kabupaten Kediri
1.3.2.3 Menganalisa pengaruh motivasi keluarga dengan mekanisme koping lansia.



1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Keluarga
Sebagai sumber informasi baru tentang mekanisme koping yang digunakan oleh lansia ketika menghadapi suatu permasalahan, sehingga keluarga dapat memberikan motivasi atau dukungan secara benar dan tepat kepada lansia.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Sebagai gambaran tentang betapa pentingnya motivasi keluarga dengan mekanisme koping lansia, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupannya untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan.
1.4.3 Bagi Pendidikan Keperawatan
Memberikan masukan bagi pengembangan pengetahuan institusi dan mahasiswa keperawatan tentang pengaruh motivasi keluarga terhadap mekanisme koping lansia.
1.4.4 Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Sebagai masukan dan informasi awal untuk mengembangkan penelitian yang berkaitan dengan pengaruh motivasi keluarga terhadap mekanisme koping lansia.

1.5 Batasan Penelitian
Untuk mengarahkan ruang lingkup penelitian, maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut : mengetahui Pengaruh Motivasi Keluarga Dengan Mekanisme Koping Lansia Di RW 10 Desa Mojoroto Kabupaten Kediri.

Link download KTI lengkap ini
03.Pengaruh motivasi keluarga terhadap mekanisme koping lansia
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

02.pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia sekolah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang penuh tekanan, utamanya karena perpisahan dengan lingkungan normal. Reaksi anak pada hospitalisasi di dasarkan pada usia perkembangan dan pengalaman sebelumnya. Hospitalisasi anak memiliki efek yang mengganggu pada perkembangan mereka, pada saat penyakit tidak terlalu parah dan masa hospitalisasinya singkat maka pengaruh minimal, tetapi penyakit yang serius dapat menimbulkan pengaruh yang lebih berarti (Potter, Patricia , 2005 ).

Pengetahuan anak tentang hospitalisasi mempengaruhi persepsi dan respon individu terhadap Hospitalisasi. Perasaan mampu menangani stressor dapat mempengaruhi kemampuan dalam menghadapi ancaman stressor tersebut. Hal ini dapat juga mempengaruhi tingkah laku anak seperti protes, Menarik diri, agresi dan dapat menimbulkan perilaku negatif setelah pulang kerumah seperti mimpi buruk, sikap menjauh diri dan sikap tidak mau lepas dari orang tua. Perilaku tersebut merupakan reaksi kecemasan anak terhadap hospitalisas (Potter,Patricia 1995).
Kecemasan Merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah di dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas ( Carpenito, 1995 ).
Kecemasan karena perpisahan , kehilangan kontrol, ketakutan terhadap tubuh yang di sakiti dan nyeri merupakan penyebab utama dari reaksi perilaku anak yang mengalami hospitalisasi. Orang tua yang tetap tinggal dengan anak yang di rawat di rumah sakit pada saat perawatan mereka membuat merasa lebih nyaman. Perawat yang ramah dan informatif dapat memberikan informasi tentang kecemasan terhadap keluarga dan anak. Kepercayaan orang tua terhadap perawat dapat di perkuat dengan usaha perawat untuk mengurangi rasa takut anak dan mengenali sumber takut tersebut ( Potter, Patricia , 2005 ).
Berdasarkan data yang di peroleh dari ruang anggrek RSUD Gambiran pada bulan september sampai november 2006, anak usia sekolah yang di rawat sebanyak 108 anak. Jumlah rata – rata anak usia sekolah perbulan yang di rawat, sebanyak 27 anak. Dari sekian banyak anak usia sekolah yang di rawat, reaksi anak terhadap hospitalisasi berbeda – beda mulai dari kecemasan ringan sampai dengan panik. Menurut kepala ruangan anggrek Reaksi kecemasan tersebut dapat mempengaruhi proses pengobatan sehingga perawat tidak kooperatif dengan prosedur perawatan.
Lama hospitalisasi dapat mempengaruhi tingkat adaptasi anak., Sehingga akan meningkatkan kecemasan. Reaksi kecemasan pada anak bervariasi. Kecemasan saat di hospitalisasi di pengaruhi oleh banyak faktor baik berhubungan langsung maupun tidak langsung. Kecemasan ini dapat berkurang apabila anak merasa nyaman. peningkatan kenyamanan sangat penting pada anak yang di rawat di rumah sakit. Rasa nyaman dan kebersamaan dengan orang tua dapat membantu mengurangi kecemasan yang di alami anak.
Berdasarkan uraian di atas masalah dari penelitian ini adalah adanya kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi di RSUD Gambiran kediri. Untuk itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan anak usia sekolah selama mereka di rawat di ruang anggrek RSUD Gambiran pada tahun 2007
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia sekolah ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan anak usia sekolah.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui tingkat kecemasan pada anak usia sekolah yang di rawat di RSUD Gambiran.
1.3.2.2 Untuk mengetahui lama hospitalisasi pada anak usia sekolah yang di rawat di RSUD gambiran .
1.3.2.3 Untuk mengetahi adakah pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia sekolah yang di rawat di RSUD Gambiran.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi peneliti
1.4.1.1 Sebagai bahan untuk memperluas pengetahuan tentang pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan anak usia sekolah.
1.4.1.2 Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang di peroleh di bangku kuliah.
1.4.2 Bagi institusi
1.4.2.1 Sebagai referensi program DIII akademi keperawatan PGRI Kediri.
1.4.2.2 Sebagi bahan diskusi terutama di bidang keperawatan.

1.4.3 Bagi anak
Anak Dapat beradaptasi terhadap tingkat kecemasan yang timbul selama perawat di rumah sakit.

1.5 Batasan Penelitian
Untuk mengarahkan ruang lingkup penelitian, masalah yang di teliti dalam penelitian adalah pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan anak usia sekolah di RSUD Gambiran tahun 2007.

Link download KTI lengkap ini
02.pengaruh lama hospitalisasi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia sekolah
BAB I-II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

01.PENGARUH KEPEMILIKAN JAMBAN TERHADAP PENYAKIT DIARE

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada zaman maju dan semakin canggih ini penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkan oleh diare (Depkes RI, 2002).
Di indonesia Depkes RI mencatat pada tahun 1996 kasus diare terjadi sebanyak 86 kali dengan jumlah kasus 4.898 dan kematian 120 orang, pada tahun 2000 terjadi penurunan menjadi 30 kali dengan 920 orang dan kematian 19 orang dan pada tahun 2003 penderita diare berjumlah 300/1000 penduduk (@ Sinar Harapan Cyber Media, 2003). Sedangkan berdasarkan data temuan Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya penderita diare hingga akhir januari 2003 meningkat hingga 8.530 jiwa perbulan, sementara tahun sebelumnya hanya mencapai 32.264 jiwa pertahun dan pada periode januari sampai oktober 2004 Dinkes Jatim mendapatkan fakta bahwa adanya diare pada 3.000 anak (@ 2003, Jatim.go.id).

Masih tingginya angka kesakitan dan kematian tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kuman melalui kontaminasi makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan penderita. Sedangkan faktor-faktor lainnya meliputi faktor penjamu dan faktor lingkungan (Depkes RI, 2002).
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah khususnya Departemen Kesehatan melaksanakan Pengembangan Progam Pemberantasan Penyait Diare (P4D) yang dimulai sejak tahun 1981. Tujuan program tersebut yaitu dalam jangka pendek untuk menurunkan angka kematian karena penyakit diare serta akibat lain dari penyakit diare, khususnya keadaan gizi dari penderita serta menemukan keadaan dini dari timbulnya KLB (Kejadian Luar Biasa), atau wabah dan segera mengadakan kegiatan penanggulanganya. Sedangkan jangka panjang yaitu untuk menurunkan angka kesakitan sehingga penyakit diare tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH KEPEMILIKAN JAMBAN TERHADAP PENYAKIT DIARE”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang diteliti adalah: Adakah pengaruh kepemilikan jamban terhadap penyakit diare.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisa pengaruh kepemilikan jamban terhadap penyakit diare.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi kepemilikan jamban
1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian penyakit iare.
1.3.2.3 Menganalisa pengaruh kepemilikan jamban terhadap penyakit diare.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi
Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan dan mengembangkan sarana sanitasi khususnya jamban, juga dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan mengenai sarana sanitasi khususnya jamban yang memenuhi syarat, dan akibat jamban yang tidak memenuhi syarat.
1.4.3 Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan ilmu yang didapat selama kuliah.

Link download KTI lengkap ini
01.PENGARUH KEPEMILIKAN JAMBAN TERHADAP PENYAKIT DIARE
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

22.hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di Indonesia sebagaimana halnya dengan Negara-negara berkembang lainnya, masalah kesehatan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh dua persoalan utama yaitu keadaan gizi yang tidak baik dan merajalelanya penyakit infeksi. Sebagian besar dari kematian bayi dan anak di negara berkembang adalah akibat dari dua hal tersebut. Akan tetapi banyak ahli kesehatan berpendapat bahwa keadaan gizi yang buruk lebih merupakan penyebab dasar dari tingginya angka kematian bayi dan anak balita di negara berkembang (Moehji, 1988).

Faktor penyebab kasus gizi buruk akhir-akhir ini adalah masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan gizi balita. Disamping itu secara kumulatif berkurangnya konsumsi sehari-hari menyebabkan melemahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, keadaan ini memperburuk status gizi. Agar kasus gizi buruk tidak bertambah diperlukan upaya agar keluarga mempunyai pemahaman yang baik tentang gizi, mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan kecukupan pangan dan konsumsi gizi. Salah satu indikator keberhasilan dari kegiatan posyandu diantaranya adalah jumlah balita yang ditimbang setiap bulan di posyandu, jumlah balita yang naik berat badannya (Depkes RI, 1998)
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Hasil pendidikan yang berupa perubahan tingkah laku meliputi bentuk kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor (Tim Dosen FIP-IKIP Malang,1988).
Selanjutnya menurut Binkesmas (1991) pendidikan mempengaruhi seseorang untuk menerima apa yang diberikan. Pendidikan yang rendah mempengaruhi daya serap dalam menerima pengetahuan yang diberikan.Dalam menanamkan pengertian merubah kebiasaan yang dilakukan dalam usaha perbaikan gizi sering kali pula dihambat oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, sebab masyarakat yang pendidikannya rendah masih sulit untuk menerima pengetahuan yang diberikan.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 17 Maret 2006 didapatkan data berat badan balita yang diukur pada bulan Januari 2006 dari 2 posyandu yang ada di Dukuh Bendungan Landungsari Malang yaitu sebanyak 58 balita. Dari 58 balita didapatkan 8,7% balita dengan status gizi kurang, 81,5% balita dengan status gizi baik dan 9,9% balita dengan status gizi lebih. Dari data yang diperoleh tidak didapatkan balita yang menderita gizi buruk. Selain data tentang balita juga didapatkan data yang lain yaitu tentang tingkat pendidikan ibu-ibu yang berbeda mulai dari lulusan SD sampai dengan lulusan perguruan tinggi, dengan demikian kemungkinan tingkat pengetahuan mereka juga berbeda terbukti dengan masih adanya balita mereka yang menderita gizi kurang dan gizi lebih.
Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan tentang Gizi pada Ibu yang mempunyai balita Di Wilayah Kerja Posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang ”
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas peneliti ingin mempelajari “Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita di posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang“

1.3 Hipotesa
H0 = tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita
H1 = ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita di posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat pendidikan ibu yang mempunyai balita di posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang
2. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita di posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang
3. Menganalisa hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita di posyandu Dukuh Bendungan Landungsari Malang
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti dalam hal sejauh mana tingkat pengetahuan masyarakat di hubungkan dengan tingkat pendidikannya sehingga memudahkan dalam pelayanan kebidanan khususnya dalam memberikan konseling tentang gizi pada ibu-ibu yang mempunyai balita
1.5.2 Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi adik-adik mahasiswa yang sedang melaksanakan pendidikan.
1.5.3 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pengetahuan sehingga masyarakat mampu mengetahui dan memahami tentang arti penting gizi bagi ibu yang mempunyai balita.

Link download KTI lengkap ini
22.hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tentang gizi pada ibu yang mempunyai balita
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...

21.HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI DAN PERILAKU PENCEGAHANNYA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seiring dengan keberhasilan dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat (Nugroho, 2000:1). Dengan makin meningkatnya harapan hidup jumlah kelompok usia lanjut akan banyak yang menyebabkan tingginya penyakit degeneratif, salah satunya hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut adalah bila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Peningkatan tekanan darah pada usia lanjut yang semula dianggap normal sebagai akibat perubahan fisiologi ternyata meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas serebro kardiovaskuler (Waspadji, 2001: 483).

Lansia mengalami perubahan psikologi yang terjadi bersama dengan semakin bertambahnya usia. Salah satu perubahannya adalah menurunnya daya ingat dan komunikasi (Nugroho, 2000:62). Hal ini berpengaruh terhadap pengetahuan lansia dalam memperoleh informasi tentang kesehatan. Akibatnya profesional pelayanan kesehatan seringkali gagal memberi kesempatan pendidikan kesehatan bagi lansia karena mereka salah mengasumsikan bahwa lansia tidak dapat belajar menjaga diri mereka sendiri (Stanhope dan Lancaster, 1992). Menurut Theis (1991) bahwa lansia mengalami penurunan inteligensi cairan yang meliputi komponen dasar dan proses rasional informasi, tetapi dikompensasi dengan peningkatan inteligensia kristal, kontekstual rasional dan pengetahuan (Potter dan Perry, 2005). Disamping itu perbedaan pembelajaran yang signifikan bagi lansia adalah peningkatan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan dan mendapatkan kembali informasi dari memori (Ebersole dan Hess, 1990).
Menurut data yang diperoleh dari Puskesmas Kanigaran Prubolinggo tahun 2004 menunjukkan bahwa lansia yang berumur 55 tahun keatas yang menderita hipertensi berjumlah 1204 penderita, tahun 2005 berjumlah 1324 penderita. Sementara data tahun 2006 berjumlah 1014 penderita. Sekarang ini masih banyak perilaku sehari-hari para lansia yang merokok, minum alkohol, karena sudah menjadi kebiasaan sejak lama dan juga pengaruh lingkungan pergaulan, maka upaya pemberantasan merokok dan alkohol sangat sukar (Waspadji, 2001:256). Pola makan yang kurang baik dan tidak seimbang antara protein, karbohidrat dan lemak serta tinggi garam .berkurangnya aktivitas juga sering muncul pada lansia sehingga terjadi obesitas (Waspadji, 2001:257).
Dengan munculnya hal tersebut maka pemecahannya dengan memberikan health education kepada para lansia penderita hipertensi mengenai penyakit yang diderita. Selain itu, menurut Bloom faktor-faktor yang mempengaruhi pola hidup seseorang adalah perilaku, lingkungan dan person. Ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain (Sunaryo, 2004:3). Sehingga angka kesakitan menurun dan derajat kesehatan dapat ditingkatkan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengetahuan tentang hipertensi pada lansia ?
2. Bagaimana perilaku pencegahan hipertensi pada lansia ?
3. Sejauhmana hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dan perilaku pencegahannya pada lansia ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dan perilaku pencegahannya pada lansia di Puskesmas Kanigaran Probolinggo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi pengetahuan tentang hipertensi pada lansia
2. Untuk mengidentifikasi perilaku pencegahan hipertensi pada lansia
3. Untuk menganalisa hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dan perilaku pencegahannya pada lansia.


1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Responden
Meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya lansia tentang hipertensi dan pentingnya menjaga tekanan darah agar dalam batas normal.
1.4.2 Bagi Instansi Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi pengelola Puskesmas Kanigaran Probolinggo dalam upaya menurunkan angka kekambuhan hipertensi.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan untuk pengkajian dan penelitian lebih lanjut.
1.4.4 Bagi Peneliti
Hasil penelitian dapat dipakai untuk meningkatkan pengetahuan penulis terutama tentang hubungan tingkat pengetahuan lansia yang menderita hipertensi dan perilaku pencegahannya.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini membahas tentang hubungan antara pengetahuan mengenai penyakit dan perilaku pencegahan lansia yang menderita hipertensi sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan hipertensi pada lansia tidak diteliti.

Link download KTI lengkap ini
21.HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI DAN PERILAKU PENCEGAHANNYA
BAB I-III
BAB IV
BAB V

Baca Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...