KTI-SKRIPSI: 32.gambaran perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun

32.gambaran perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan pada anak termasuk dalam hal kesehatan sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan sosial serta nilai-nilai yang ada pada lingkungan mereka. Apabila anak berada pada lingkungan yang positif, maka perilaku yang terbentuk adalah perilaku yang positif pula, begitu pun sebaliknya (Whaley dan Wongs, 1995:13).

Kondisi ini juga dapat terjadi pada anak jalanan. Semakin lama seorang anak hidup di jalanan maka semakin sulit untuk mengentasnya dari jalanan. Anak¬anak tersebut telah melakukan perubahan pada sikap dan perilaku sebagai upayanya untuk menghadapi kekerasan di jalanan, eksploitasi, dan mengatasi bahaya. Di samping situasi buruk yang telah akrab dengan kehidupan anak jalanan tersebut, biasanya anak-anak tersebut telah menikmati kehidupannya di jalanan. Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Sosial, Pada tahun 1999 jumlah mereka sekitar 39.861 orang, di tahun 2002 sebanyak 94.674, dan pada tahun 2004 jumlah anak jalanan menjadi 98.113 orang. Jumlah tersebut jika kita telusuri dari penyebab kemiskinan orang tua, maka disinyalir bahwa jumlah anak jalanan sebagai bagian dari anak terlantar diperkiran lebih besar dan pada tahun 2002 mencapai angka 3.308.642. Jumlah tersebut belum termasuk Anak Balita terlantar sebanyak 1.138.126 orang, Anak Korban Tindak Kekerasan sebanyak 48.526 orang, Anak Nakal sebanyak 189.075 orang, dan anak cacat sebanyak 365.868 orang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika pada tahun 2003 Badan Pusat Statistik (BPS), memaparkan data anak-anak berusia antara 6 - 18 tahun sebanyak 36.500.000 jiwa yang masih hidup dalam kategori miskin di 12 kota besar di Indonesia. Di Malang sendiri Data dari Pemkot Malang menunjukkan jumlah anak jalanan pada 2005 sebanyak 555 anak, dan 600 anak setahun kemudian (Tempointeraktif, 2007).
Sebagian anak jalanan harus mempertahankan hidupnya dengan cara yang secara sosial kurang dan bahkan dianggap tidak dapat diterima. Hal ini karena tantangan yang dihadapi oleh anak jalanan pada umumnya memang berbeda dari kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau cap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku anak jalanan tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingannya dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada anak-anak tersebut dan bahkan, sebenarnya, perilaku anak-anak tersebut mencerminkan perilaku masyarakat dalam memperlakukannya, serta harapan masyarakat terhadap perilakunya (Suyanto dan Sri Sanituti, 2001).
Kehidupan jalanan yang keras dan liar membuat anak-anak jalanan sering memperoleh perlakuan kasar baik dari sesama anak jalanan maupun preman yang meminta uang dengan alasan keamanan, oleh karena itu anak jalanan membela dirinya sendiri dengan mengumpat, memaki, marah-marah, yang ditirunya dari orang lain atau sesama anak jalanan sendiri. Penilaian Masyarakat terhadap anak jalanan khususnya pengamen memandang dengan sebelah mata menyebabkan mereka merasa sebagai orang yang tidak berguna (Indriyani, 2007).
Pemicu terjadinya perilaku kekerasan anak jalanan diantaranya diakibatkan oleh disfungsi keluarga, ekonomi, dan pandangan keliru tentang posisi anak jalanan. Penyebab lainnya, anak jalanan terinspirasi tanyangan televise maupun media-media lain yang tersebar di lingkungan masyarakat (Endang, 2007).
Salah satu bentuk perilaku anak jalanan yang kurang dapat diterima secara sosial adalah perilaku kekerasan atau tindakan agresifitas seperti marah secara verbal, anak jalanan juga sering menunjukkan perilaku atau tindakan negatif seperti misalnya perilaku pengamen jalanan terutama yang beraktifitas di perempatan lampu lalu lintas (traffic light) muncul karena kurang bisa dalam mengekpresikan dan mengendalikan emosi, sehingga yang ada hanya rasa kekecewaan, permusuhan yang berdampak pada perilaku yang negatif seperti menggores mobil, marah-¬marah pada pengemudi, dan sebagainya. Perilaku agresif anak jalanan tersebut terjadi karena kurangnya pengendalian emosi, disamping adanya faktor lain seperti stres, kurangnya dukungan sosial, penyesuaian diri dan frustrasi (Mulyati, 2007).
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh anak jalanan dalam mengekspresikan kemarahannya. Hal ini penting diamati agar dapat dilakukan penanganan secara efektif tanpa menimbulkan kerugian bagi anak jalanan maupun orang lain yang beresiko menjadi korban anak jalanan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 anak jalanan di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang pada awal November 2008, diketahui bahwa 7 anak (70%) mengatakan jika sedang kesal, mereka akan memarahi atau mengumpat siapa saja yang ada di sekitarnya, sementara 3 anak yang lain (30%) mengatakan hanya marah pada orang yang mengganggunya saja, bukan pada orang lain yang tidak bersalah. Dari 10 anak jalanan tersebut, 8 orang (80%) mengakui pernah melakukan tindakan perusakan pada barang atau benda milik orang lain, dan 2 orang (20%) mengaku pernah melakukan pemukulan (tindakan kekerasan) pada orang lain.
Atas dasar pertimbangan inilah peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat lebih jauh bagaimana gambaran perilaku kekerasan yang sering dilakukan oleh anak jalanan. Perilaku anak jalanan yang tidak sesuai dengan tatanan normatif di masyarakat dan bahkan yang dianggap mengganggu ketertiban lingkungan perlu mendapat penanganan yang tepat. Memperlakukan anak jalanan sebagai bagian dari kehidupan dunia kriminal dan kemudian merazianya demi ketertiban kota, mungkin sudah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat dan membuat pihak yang melakukan tindakan tersebut merasa telah berbuat sesuatu yang bermanfaat. Tapi jika tindakan tersebut dilakukan dengan hati nurani dan sikap empatif, maka diharapkan ada bentuk perlakuan yang dapat dianggap sebagai solusi lebih tepat, agar perlakuan tersebut tidak menimbulkan permasalahan semakin berat, terutama bagi anak-anak jalanan tersebut (Ifa, 2008).

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang?


1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi frekuensi prilaku kekerasan secara verbal.
2) Mengidentifikasi perilaku kekerasan secara verbal yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang
3) Mengidentifikasi frekuensi kekerasan secara fisik
4) Mengidentifikasi perilaku tindakan kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku anak jalanan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi, atau menjadi data dasar/bahan penelitian tentang cara penanganan masalah anak jalanan.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Memberikan wawasan pada masyarakat secara untuk ikut berperan serta mengatasi permasalahan anak jalanan dengan memberikan masukan-masukan atau ide yang bersifat membangun.


1.5 Batasan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada perilaku kekerasan secara verbal dan secara fisik yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun di Wisma Singgah Mergosono Kota Malang.


Link download artikel lengkap ini
32.gambaran perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan usia 12 – 18 tahun

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...